TWOM Drakor: Pesan Moral the World of the Married
Pesan Moral the World of the Married
여러분 안녕
Yeoreobun annyeong...
Sebelumnya aku pernah membahas tentang kontroversi the world of the married sesuai opini pribadiku. Saat itu aku memutuskan untuk menonton hanya sampai di episode ke-5 saja.
Itupun, alasanku menonton awalnya hanya karena penasaran kenapa para netijen nusantara sampai heboh beramai-ramai ngeroyok akun IG sang pemeran wanita yang berperan sebagai pelakor.
Asli, aku takjub sama mereka. Takjub sama halu-nya yang diluar kendali itu lho, parah!
Duhhh... Yaa Allah ampuni hamba-Mu yang julid sama mamak-mamak bar-bar itu.
Nah tapi, sesuai dengan yang aku bilang kala itu, aku menunggu emosiku stabil dulu baru akan melanjutkan menontonnya. Karena jujur, buat aku drama ini bukan termasuk drama hiburan.
Yes! Sekali lagi, menurutku, menurutku ya.
Drama korea TWOM alias the world of the married ini bukan termasuk drama hiburan. Karena benar-benar tidak menghiburku, sama sekali. Selama menonton, aku justru dibuat cukup tegang dengan konflik-konfliknya.
Itu kenapa aku menunggu waktuku benar-benar luang dan emosiku lagi stabil, agar semua pesan di dalamnya bisa aku tangkap dengan lebih baik. Halah.
Beberapa postingan teman-teman di sosial media bahkan ada yang mengatakan drama the world of the married ini adalah bentuk psychic thriller, dimana, horornya bukan tentang raga melainkan jiwa. Makanya jangan heran kalau jiwa-jiwa para penontonnya banyak yang menjadi halu-lintar. wkwkw *canda
Alhamdulillah sih, selama melanjutkan drama ini hingga khatam, aku tidak menunjukkan adanya gejala gangguan jiwa yang pernah disebutkan oleh beberapa teman, menurutnya jika tontonan ini bisa menimbulkan gangguan kecemasan dan penurunan kepercayaan terhadap pasangan, lho.
Berikut beberapa pesan moral yang dapat aku tangkap dari serial drama TWOM ini. cekidot!
Kekerasan Mental yang Terbalut Kasih Sayang
Iyes, beberapa "pesan" yang aku tangkap adalah kekerasan mental terhadap anak yang mengatas-namakan kasih sayang. Dalam drama ini dikisahkan bagaimana si ibu, Ji Sun-Woo selaku pemeran utama perempuan begitu over-protective terhadap anak semata wayangnya, Lee Joon-Young.
Sebagai emak yang alhamdulillah anak sulungku kira-kira seusia tokoh anak di serial tersebut, aku paham sih gimana posisi Ji Sun-Woo sebagai emak.
Emak yang pengen anaknya sukses. Dia nggak pengen anaknya kek bapaknya yang nggak kompeten itu.
Sedikit banyak dari kita mungkin juga pernah berperilaku demikian terhadap anak-anak kita. Aku pun sama. Beberapa kali terkesan "memaksa" anak untuk pandai urusan akademis dan mengarahkan anak kesini kesini kesini tanpa bertanya bagaimana pendapat si anak.
Tapi...
Setelah menonton serial ini, alhamdulillah aku semakin tercerahkan. Nggak semua anak bisa diperlakukan seperti itu. Apalagi di era sekarang.
Oke, di jaman kita, atau di jaman leluhur kita. Pemaksaan terhadap masa depan anak memang nggak menjadi masalah. Toh bahkan banyak orang-orang dahulu yang menjadi sukses karena didekte oleh orang-tua.
Tetapi, di jaman kekinian ini semua pola-pola itu pun telah berubah. Kita sebagai orang-tua hanya bertugas mengarahkan, bukan memaksakan.
Di drama TWOM ini, si ibu selalu mengambil kesimpulan tentang kondisi si anak hanya berdasarkan pemikirannya saja.
Dia terlalu merasa telah mengenal si anak, nyatanya Enggak. Sadar atau pun tidak, kita pun bahkan sering berlaku demikian.
Ditambah lagi, tokoh si anak ini pendiam, ehh bukan, tetapi memilih diam dan memendam semua unek-uneknya. Si anak nggak salah, bagaimana pun, di usia segitu pastilah dia syok melihat kelakuan bapaknya, dan syok dengan perceraian orang-tuanya.
Dari sini, kita sebagai orang-tua punya peran penting untuk melakukan pendekatan terhadap anak dengan cara-cara yang lebih disukai anak. Bukan dengan rasa sok paling mengenal si anak alih-alih merasa kita yang mengandung dan menyusuinya.
Ini PR besar juga buat aku, karena anakku sudah di tahap pra-remaja.
Tidak Selamanya Ibu Tiri itu Ibu Kota Kejam!
Pelakor itu memang bikin gemesh. Meskipun ya, jujur aku menyukai tokoh Yeo Da-Kyung di serial ini. Maap nih, beda tim kita mak! wkwkwk.Sebagai perempuan dan sebagai isteri, aku masih tetap menolak tentang keberadaan pelakor. Tetapi, kasus Da-Kyung ini, nggak bisa disalahin mentah-mentah juga.
Pas si wanita pelakor ini kemudian menikah dengan si om-om "garang" tersebut, pasti para penoton sangat membenci si wanita. *yaiya lah
Jadi, yang kemaren ribut-ribut endingnya jelek. Endingnya "enggak" banget. Atau endingnya nggak jelas. Hmm, gimana ya. Ya emang endingnya kurang uwuw sih.
Sebagai manusia biasa, yang mudah jatuh cinta, dan nggak bisa memilih bagaimana hati ini tiba-tiba mencintai. Halah!
Kasusnya tokoh Da-Kyung ini juga buta karena "cinta". Emmm, dibutakan lebih tepatnya.
Logikanya begini, si tokoh Da-Kyung ini kan pinter, cantik, anak semata wayang dari keluarga kaya-raya, dan bukan kekurangan kasih-sayang juga.
Ngapain coba dia pacaran sama om-om laki orang, yang nggak kompeten, nggak menghasilkan apa-apa kecuali menghasilkan "anak", kalau bukan karena "cinta".
Yakali, wanita sobetan yang tiba-tiba dateng mengganggu suamimu yang sudah sukses setelah bertahun-tahun menikah denganmu karena alasan pengen memperbaiki hidup. Ini contoh senetron nusantara nih kek begini. haha LOL.
Pas si wanita pelakor ini kemudian menikah dengan si om-om "garang" tersebut, pasti para penoton sangat membenci si wanita. *yaiya lah
Pakai acara pulang kampung pula.
Mau ngapain sih? pamer sama bu dokter mantan isterinya om? haha.
Kalau yang aku tangkap sih, yang ngebet pen pulang kampung ya si Oom, yang pengen nunjukin ke mantan isterinya, "ini lho guwe udah sukses setelah loe buang!".
Sedangkan Da-Kyung lebih ingin menunjukkan ke masyarakat yang sudah mencemoohnya sebagai "pelakor", pengen nunjukin ke para mamak-mamak tukang ghibah itu kalau dirinya baik-baik aja, kalau pernikahannya bahagia, dan suaminya sudah sukses berkat menikah dengannya.
Nah, poin yang juga aku tangkap disini, gimana emak muda ini mencoba meng-handle si anak tirinya, yang juga anaknya bu dokter Ji tadi, Lee Joon-Young.
Ketakutannya pada pak suami yang bisa saja rujuk sama mantan isterinya gara-gara mereka bolak-balik sibuk ngurusin si anak yang masih ikut emaknya itu.
Yakan kata nenek moyang kita, witing tresno jalaran soko ngglibet (baca: awal cinta karena terbiasa bersama).
Itu sebabnya kenapa Da-Kyung mengalah untuk memilih ngajakin si anak tiri tinggal dengannya. Harapannya, dengan si anak ikut bapaknya, si bapak nggak ketemuan lagi sama mantan.
Karena bagaimana pun kenangan mantan itu paling banyak menuhin memori lho! wkwkwk.
Nah, melihat kekacauan mental sang anak tiri tersebut, haruskah Da-Kyung memilih akan mengirimnya sekolah ke luar negeri?
aku sepakat dengannya untuk kasus ini. Itu salah satu cara agar si anak terbebas dari lingkungan yang selama ini membuatnya kacau. Beneftinya bagi dia, keadaan menjadi aman damai sejahtera.
Dengan melihat gimana cara dia melakukan pendekatan terhadap si anak (yang menurutku lebih oke daripada emaknya sendiri), menurutku si anak nantinya akan lebih diuntungkan soal masa depannya. Asalkan pemberian pemahaman ke si anak tepat. Bukan karena bermaksud membuang.
Tetapi, begitu melihat reaksi Da-Kyung saat melihat si dede bayi nangis kenceng pas lagi bersama Lee Joon-Young dan main tuduh semena-mena itu, aku nggak sepakat dengan dia kali ini.
Meskipun itu juga masih sangat wajar jika menimbang dari semua sudut pandang dan situasi kondisi mereka yang kacau mental saat itu.
Tetep ya, namanya ibu tiri itu kek ibu kota. hahaha.
Bukan Tentang Endingnya, tetapi Pesan Moralnya
Tapi sekarang, kita maunya ending yang kayak gimana? Happy ending yang mana?
Ji Sun-Woo balikan sama Oom ganteng Lee Tae-Oh?
Yakin rela?
Atau, Ji Sun-Woo nikah sama pak dokter ganteng nan perhatian itu? Pasti maunya pada gitu, kan? Tadinya sih aku juga sempet mikir endingnya bakalan begitu. Ternyata tydackkkkk!
Mungkin penulisnya ingin menyadarkan kita bahwa, hidup itu terkadang juga sad.
Tapi yaudah sih, drama ini memang bukan tontonan hiburan, jadi jangan ngarep bakalan happy ending seperti harapan kita semua. Dan tangkapanku masih sama, drama TWOM ini lebih mengedepankan pesan moral yang sangat padat di dalam inti ceritanya. Bukan endingnya.
Karena seperti itu pula kehidupan.
Kita hanya bisa berusaha, menjalani kisah perjalanannya, dan tak bisa memaksa semua berakhir happy ending seperti dongeng nina bobo.
Namun yang tak boleh kita lupakan. Masalah itu akan selalu ada saat napas kita masih ada. Jalani prosesnya, cari bahagia dengan cara kita sendiri, dan nikmati setiap perpindahan episodenya. Karena cerita hidup kita tak pernah ending kecuali tutup usia.
annyeong,
Wahaha aku nggak pernah nonton drakor mbak. Kecuali yg judulnya k2, wkwkwk soalnya suka sm genree film action. Suka deh sm epilognya, jalani prosesnya dan bahagia dg cara kita sendiri :)