Pengalaman Melahirkan Caesar Saat Pandemi
Kenyataan yang saya temui pun demikian. Saat saya melahirkan anak ke-tiga beberapa pekan lalu, rata-rata pasien persalinan barengan saya mayoritas melalui bedah sesar.
Orang bilang, melahirkan secara normal atau pervaginam lebih sakit dan wanita yang melahirkan secara normal dianggap lebih strong ketimbang melahirkan secara caecar, karena proses dari kontraksi hingga mengejan memang sakitnya luar biasa. Tapi apa benar melahirkan sesar itu nggak sakit?
Berikut pengalaman melahirkan caesar yang saya alami beberapa pekan lalu.
Pengalaman Melahirkan Caesar Anak ke-3
Sembilan bulan yang lalu saya benar-benar syok saat mengetahui bahwa hasil tespek saya 2 garis pink. Bukan saya tidak bahagia, atau menolak rezeki ini lho, ya. Saya hanya benar-benar kaget karena benar-benar di luar dugaan.
Sejak awal kami memang sudah sepakat cukup dua anak saja, alhamdulillah saya sudah dikaruniai sulung laki-laki yang ganteng dan adiknya perempuan yang cantik kayak emaknya dengan persalinan normal keduanya.
Kami memang tidak menolak anak ke-tiga, namun juga tidak mengusahakannya dan berusaha untuk "tidak", karena sebuah persalinan tentu membutuhkan segala hal yang “extra”. Ya materi, ya tenaga, ya mental, ya kesabaran, semua butuh extra pokoknya. Terlebih usia saya tak lagi muda, tentu banyak sekali hal-hal yang harus kami pertimbangkan.
Qadarullah, Allah memberi kami rezeki anak ke-tiga di usia saya yang sudah di atas usia aman kehamilan. Namun saya menikmati proses kehamilan ini dengan sepenuh hati. Alhamdulillah, suami dan anak-anak saya memberi support yang tak terbatas. Dan semua kelancaran ini pasti atas izin-Nya.
Alhamdulillah 3 pekan lalu saya resmi menjadi mamak 3 anak. Usia yang tak muda ini memberi saya pilihan untuk menjalani operasi sesar, dan sekaligus melakukan ikat ovarium yang sering disebut steril ikat.
Iyes, dalam hukum Islam steril dianggap sebagai pengebirian dan itu haram hukumnya. Sedangkan untuk steril ikat (bukan potong) masih dalam pro dan kontra. Namun atas pertimbangan kesehatan dan keamanan ke depannya, saya mengikuti hukum hal ini masih diperbolehkan. Mengingat usia dan risiko kehamilan pasca sesar.
Beberapa jam pasca operasi setelah saya sudah dipindahkan ke kamar inap, suami saya bertanya, "sakit mana melahirkan normal atau sesar?"
Sambil tersenyum kecut menahan nyeri, saya jawab, "sama aja!"
Bedanya, persalinan secara spontan atau normal sakitnya di depan, sedangkan persalinan sesar sakitnya akan terasa pasca operasi. Tentu saja sakit yang dirasakan masing-masing orang akan berbeda, karena kita memiliki kondisi tubuh dan keuangan yang berbeda pula.
Kedua persalinan normal saya, pemulihan post partum saya membutuhkan 2 minggu hingga benang sisa jahitan lepas baru saya bisa beraktifitas normal. Sebelum itu, saya hanya bisa berjalan dengan merambat dan sulit melakukan ini itu secara mandiri. Bagi sebagian orang, 2 minggu itu waktu yang cukup lama dan waktu yang tepat untuk bisa nyinyirin, karena sebagian dari mereka sudah beraktifitas normal setelah 3 - 5 hari.
Saya sih tidak ambil pusing dengan nyinyiran-nyinyiran seperti itu, ini tubuh saya dan saya yang merasakan sakitnya. Kalaupun saya bisa memilih, toh nggak mungkin saya memilih untuk sakit, bukan? Kalau saja setelah lahiran saya sudah bisa ujug-ujug berlarian dan ngapain aja sesuka saya, tentu itu akan menyenangkan.
Saat persalinan pertama saya, nyaris tidak ada seorang pun yang mengerti bagaimana sakitnya saya saat berjalan dan seolah mata mereka mengatakan bahwa saya itu hanya manja, yang sejujurnya hingga saat ini pun luka jiwa itu masih mengendap.
Anak kedua, alhamdulillah saya tidak lagi berada di lingkungan toxic, kalaupun ada yang toxic, saya benar-benar menganggap itu tidak ada dengan tidak menggubrisnya. Semua demi kesehatan jiwa saya tentunya. Terlebih saat persalinan anak kedua membuat saya cukup trauma selama proses bukaan. Karena mon-maap, jari bidannya gede dan agak pendek, jadi saya cukup kesakitan saat pengecekan bukaan yang berulang kali itu. Dan trauma itu masih sangat membekas hingga kini.
Ditambah lagi banyak drama yang menyertainya, sehingga persalinan ke-3 ini saya berharap bisa melahirkan sesar saja. Apalagi di masa pandemi yang semuanya serba terbatas dan terasa ribet ini. Bersyukurnya dikarenakan usia saya yang tak lagi muda, ditambah hal-hal lain yang menurut dokter ada baiknya jika saya melahirkan secara sesar saja untuk mengurangi risiko. Diantaranya, kami disarankan untuk steril saja karena saya menolak untuk KB IUD (spiral) atau KB-KB lainnya, hehe. Karena memang sejak melahirkan anak ke-2 saya hanya menggunakan kalender dengan menghitung masa subur.
Pengalaman Melahirkan Caesar dengan BPJS Saat Pandemi 2021
Alhamdulillah semua berjalan sesuai rencana, sesuai arahan dokter kandungan yang menangani saya selama masa kehamilan, jadwal persalinan saya ditetapkan 2 minggu sebelum HPL. Semua dokumen dan prosedur persalinan caesar menggunakan BPJS sudah ditangani oleh perawat rumah sakit, saya tinggal tanda-tangan untuk persetujuan saja.
H-2 operasi saya sudah melakukan swab antigen sebagai salah satu persyaratan wajib di masa pandemi. Dan bersyukurnya semuanya juga lancar dan tidak sakit seperti yang diceritakan orang-orang. Ditambah lagi, GRATIS, karena khusus untuk persalinan memang ada jatah gratis swab antigen di puskesmas terdekat.
H-1 suami saya sudah melakukan booking kamar sesuai yang diarahkan oleh petugas rumah sakit tempat saya bersalin. Keesokan harinya saat hari H, jam 7 pagi kami reservasi dan 9 pagi saya sudah berada di meja operasi karena 12 jam sebelumnya saya sudah melakukan puasa sesuai arahan. Anak ke-tiga saya pun lahir dengan selamat 15 menit setelahnya.
Cepat, ya Bund? Haha.
Iya, proses persalinan sesar dengan kondisi stabil hanya membutuhkan waktu yang relatif singkat. Proses persalinan sesar saya hanya 15 menit saja. Jam 9 pas saya anastesi, dan 9.15 bayi saya sudah lahir. Alhamdulillah terbilang lancar, meskipun tetap ada drama juga.
Sebelum melakukan operasi, tentunya kita harus melakukan serangkaian tes ya, Bunda. Mulai dari tes detak jantung bayi, tensi, tes darah, ditanya riwayat, alergi obat, dan lain sebagainya. Dramanya, hasil HB saya dinyatakan cukup rendah untuk operasi. Perawatnya nampak tenang, jadi saya pun nggak terlalu khawatir.
Tetapi, saya mendengar percakapan 3 perawat yang berada di ruangan tersebut sedang kasak-kusuk bahwa HB saya rendah dan mereka sibuk menelfon PMI serta rumah sakit besar untuk minta bantuan darah golongan saya sebanyak 2 kantong.
Meski dalam hati ada sedikit rasa gelisah, terlebih ini adalah pengalaman melahirkan caesar saya yang pertama (dan mungkin terakhir), saya berusaha untuk tidak panik.
Setelah 45 menit berada di ruang bersalin, saya dipindahkan ke ruang operasi yang dinginnya berasa lagi musim salju. Sambil menunggu pasien sebelumnya kelar dibersihin dan keluar dari kamar operasi, saya diminta tes darah lagi untuk memastikan golongan darah dan rhesus saya. Namun hasil tes darah saya belum keluar, 15 menit setelahnya saya sudah dibawa ke meja operasi.
Anastesi untuk bedah sesar dilakukan di antara tulang punggung bagian bawah, entah ruas ke berapa, tapi saya merasakan dokter anastesinya meraba seperti menghitung atau mengukur bagian tulang punggung di sekitaran perut.
FYI, dokter anastesi yang menghandle saya ini ada 2, mungkin dokter utama dan dokter magang. Kalau pernah nonton drakor yang berlatar belakang hospital pasti paham deh, ya.
Bersyukur, jarum suntik yang digunakan untuk anastesi alias bius ini kecil banget dan hampir nggak kerasa apa-apa. Padahal saya sudah antisipasi dengan sakitnya yang kata sepupu saya luar biasa. Seketika setengah badan saya seperti kesemutan dan mati rasa serta terasa berat.
Padahal rasanya saya pengen gerak, tapi mau nggerakin jari kaki aja rasanya nggak bisa. Sementara, saat proses pembedahan hingga mengeluarkan bayi, perut saya rasanya digoyang-goyang. Sempat terasa agak mual seperti mabuk kapal yang lagi oleng gitu, lho. Alhamdulillah cuma sebentar sih, sisanya hanya rasa kedinginan karena AC-nya memang nyentrong.
Dan bersyukurnya lagi, semuanya berjalan lancar meski HB saya rendah. Setelahnya, saya dipindahkan ke ruang observasi yang masih satu pintu dengan ruang operasi tadi. Observasi dilakukan sekitar 2 jam dengan peralatan dan selang yang nempel sana sini.
Sudah berasa di sinetron yang adegan sakit gitu lho, Bund. Ada bunyi "tiiiiiiiittt.... tiiittt...tiiiittt."
Namun saya (dan seorang pasien caesar dengan transfusi darah yang sudah 2 jam sebelum saya operasi) baru dipindah ke kamar inap setelah 3 jam, karena petugas yang bagian ndorong brankar masih bertugas ngambil darah ke RS Sanglah yang sedianya untuk saya kalau-kalau terjadi sesuatu.
Sebuah pengalaman baru bagi saya, cukup mendebarkan namun penuh antusias. Ahamdulillah semuanya berjalan lancar tanpa drama. Nah tapi, drama sesungguhnya adalah setelah pulang dari rumah sakit. Haha.
Setelah 3 hari dirawat inap, diantara pasien lainnya sudah bisa berjalan meski merambat, saya turun dari kasur aja nggak bisa. Bisa sih, tapi sakit banget cuy!
Ya saya tetap memaklumi diri saya, selain karena saya hanya seorang pasien BPJS yang obatnya tentu bukan standar "sultan", usia yang memang memungkinkan sudah nggak seprima saat muda, ditambah lagi ada pengikatan ovarium yang sepertinya memang terasa "clekit" di dalam perut.
Eh tapi ternyata ada yang lebih parah dari saya, kemarin ada tetangga yang nengokin, kebetulan juga baru melahirkan caesar beberapa bulan sebelum saya. Dia lebih muda dari saya, dan tanpa ikat ovarium, namun di hari ke-10 pasca operasi bahkan berdiri saja belum bisa. Jadi memang benar, kondisi orang itu berbeda, jadi jangan pernah membanding-bandingkan ya wahai kaum julid, ehhh.
Drama sesungguhnya itu pas sudah sampai rumah. Padahal dari pintu mobil ke pintu rumah itu cuma dua langkah lho, hanya saja memang harus naik sekitar sejengkal karena saya lewat dari garasi. Walhasil dua adik saya yang cowok dan berbadan gede harus mengangkat saya yang beratnya Subhanallah, wkwkwk.
Proses pemulihannya juga lebih lama untuk saya. Apalagi sesar yang saya jalani ini sekaligus pengikatan ovarium yang dalam asumsi saya pasti akan ada rasa sakit sendiri pasca pengikatan selain dari luka robekan perut dan rahim.
Di minggu ke-3 pasca operasi, saat ini - saat saya menulis ini, kondisi saya belum benar-benar pulih, lho. Padahal, beberapa barengan saya yang melahirkan sesar di hari yang sama sudah beraktivitas normal dan bahkan bisa berlarian.
Saya manja?
Hmmm, menurut suami saya, kondisi orang itu berbeda-beda, jadi jangan disamakan. Yang penting menunjukan progres sembuh, itu sudah cukup. Alhamdulillah, paksu sangat mengerti dan sabar merawat saya juga bayinya, sendirian. Karena kami memang tinggal sendiri.
Ibu dan adik-adik saya sudah pulang beberapa jam setelah saya sampai rumah, anak sulung juga ikut mereka sekalian liburan dan lebaran di rumah neneknya karena saya nggak mungkin mudik.
Jadi sekali lagi, baik memilih melahirkan secara normal atau pun sesar, yang terpenting adalah kondisi tanpa “julid” saat proses pemulihannya. Karena proses pemulihan ini sangat penting agar ibu pasca melahirkan tidak menjadi depresi dan rentan baby blues.
Hal-hal yang perlu dipersiapkan sebelum operasi caesar
Sedikit bocoran buat bunda yang baru pertama kali akan melakukan operasi caesar terencana, berikut hal-hal yang harus bunda persiapkan.
• Siapkan semua dokumen yang dibutuhkan, terlebih jika ingin menggunakan BPJS atau asuransi kesehatan lainnya.
• Cukur bersih bulu kemaluan setidaknya 1 hari sebelum persalinan. Bisa sih dicukurin sama perawat atau bidannya, tapi agak gimana gitu ya.
• Siapkan diapers dewasa, sebaiknya pilih yang model perekat. Untuk persalinan caesar, bunda tidak perlu membeli pembalut bersalin ya, karena nggak kepakai. Setelah bisa lepas diapers, kita bisa menggunakan pembalut biasa.
• Siapkan kain panjang minimal 2 lembar, ini digunakan pasca operasi karena nggak mungkin bisa langsung pakai baju.
• Siapkan baju longgar seperti daster, bisa bunda gunakan setelah kateter dilepas. Atau bisa bunda gunakan untuk bagian atas agar tidak kedinginan.
• Siapkan keperluan untuk menyambut kelahiran bayi seperti baju, popok tali, kain bedong, dan selimut. Baby mitten dan kaos kaki juga boleh disiapkan. Namun untuk kaus kutang dan gurita bayi biasanya tidak dipakaikan sama bidan/perawatnya, jadi bisa di-skip saja dan gunakan jika sudah di rumah bila ingin menggunakannya.
• Yang terakhir siapkan mental dan jangan lupa berdoa agar semua berjalan lancar.
Bisakah melahirkan normal setelah operasi caesar?
Menurut artikel yang saya baca di salah satu portal kesehatan online, persalinan normal setelah caesar atau VBAC (vaginal birth after caesar) justru dianggap lebih aman. Meski demikian, ada hal-hal yang harus diperhatikan salah satunya adalah jarak kelahiran.
Kebetulan salah satu teman saya pernah menjalani proses VBAC tersebut dan alhamdulillah berjalan baik. Yang terpenting, konsultasikan secara detail dengan dokter kandungan yang bunda pilih sebagai penolong persalinan bunda nantinya.
Segini dulu ya Bunda pengalaman melahirkan caesar saya, semoga bermanfaat buat temen-temen yang mau melahirkan operasi caesar juga. Semangat Bunda!
안녕!
saya pun kemarin melahirkan anak ketiga di masa pandemi ini, Mba, cuman bedanya saya lahiran secara normal
Wah samaan kita, selamat atas kelahirannya ya 🤗
Maa syaa Allaah saya kira teh Sera ini mamak beranak satu ternyata sudah dikaruniai tiga buah hati ya dan umur juga udah bukan kepala dua lagi *eh..
Alhamdulillaah juga ya Mbak sudah dikasih pengalaman melahirkan yang sangat berharga sekali dan juga sudah rasain keduanya baik spontan maupun sesar. Jadi bisa membedakan mana proses yang lebih 'enak'
Eh tapi emang benar, baik pervaginam maupun melahirkan di meja operasi sama-sama sakit dan sama-sama melalui proses perjuangan yang tidak mudah.
Btw selamat atas kelahiran anak ketiganya. Sehat2 ibu dan bayinya :)
terimakasih mba Siska, iya mba keduanya sama-sama sakitnya. Jadi nggak ada istilah "belum wanita seutuhnya" kalau tidak bisa melahirkan normal. Yang terpenting adalah bayi dan ibunya sehat lahir batin serta bahagia.